Sabtu, 27 Desember 2014

Perbedaan antara zakat fitrah dan zakat mal

 Apakah perbedaan antara zakat fitrah dan zakat mal? 
Inilah penjelasan mengenai zakat fitrah dari Ibnu Abbas RA, "Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan yang kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang mengeluarkannya sebelum (selesai) shalat id, maka itu adalah zakat yang diterima (oleh Allah); dan siapa saja yang mengeluarkannya sesuai shalat id, maka itu adalah sedekah biasa (bukan zakat fitrah)." (Hasan: Shahihul Ibnu Majah).
Berdasarkan hadis tersebut, zakat fitrah dikeluarkan oleh siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang dewasa atau anak-anak. Besar zakat fitrah disebutkan dalam hadis berikut:
"Rasulullah SAW telah memfardukan (mewajibkan) zakat fitrah satu sha’ tamar atau satu sha’ gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, baik kecil maupun tua dari kalangan kaum Muslimin; dan beliau menyuruh agar itu dikeluarkan sebelum masyarakat pergi ke tempat shalat Idul Fitri." (HR Bukhori Muslim).
Adapun zakat mal adalah harta yang dikeluarkan atas harta yang telah dimiliki oleh seorang muslim. Syarat seseorang wajib mengeluarkan zakat mal adalah Islam, Merdeka, berakal dan balig, serta sudah mencapai nisab.
Nisab adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Orang yang hartanya telah mencapai atau melebihi nisab wajib mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah:
"Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir." (QS Al Baqarah: 219).
Harta yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah yang telah melebihi kebutuhan. Untuk mengukurnya, Islam telah menentukan nisab zakat pada harta seseorang.
Syarat-syarat nisab: 
1. Harta yang akan dizakati di luar kebutuhan yang harus dipenuhi, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian. 2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nisab berdasarkan hadis Rasulullah SAW, "Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun)." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al AlBani).
(Rumah Zakat)



Zakat dan Wakaf







Kamis, 25 Desember 2014

INSTRUMEN NONZAKAT SEBAGAI SUMBER PENGELUARAN KEUANGAN NEGARA

KAIDAH BELANJA NEGARA ISLAM
Kebijakan pengeluaran adalah unsur kebijakan fiskal dimana pemerintah atau negara membelanjakan pendapatan yang telah di kumpulkan tadi. Dengan kebijakan pengeluaran inilah negara dapat melakukan proses distribusi pendapatan kepada masyarakat dan dengan kebijakan ini pula maka negara bisa menggerakan perekonomian yang ada di masyarakat. Pemerintah diharapkan dapat menggunakan keuangan tersebut dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meningkatkan ketakwaan. Kebijakan pengeluaran harus bisa menjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa dan status sosial. Hanya saja intervensi negara melalui kebijakan fiskal diperlukan, berupa jaminan pemenuhan akan pangan, sandang, papan, khusus ditujukan kepada warga negara miskin yang kepala keluarganya dan ahli waris nya tidak mampu lagi memberikan nafkah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok dan keluarganya. Sedangkan warga negara yang berasal dari keluarga mampu tidak mendapatkan subsidi negara.
Selanjutnya intervensi negara dalam pengadaan jaminan dan pelayanan keamanan, kesehatan dan pendidikan secara Cuma-Cuma ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang apakah warga tersebuut dari golongan kaya atau tidak. Artinya, dalam katagori ini subsidi diberikan kepada seluruh rakyat. Negara islam wajib mengadakan fasilitas umum dan pelayanan publik yang sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat dalam kehiduan sehari-hari, sehingga berbagai kepentingan dan urusan masyarakat terpenuhi dengan lancar. Keberhasilan negara untuk melakukan kebijakan pengeluaran sesuai tujuan yang disyaratkan syariah akan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Karena kebijakan pengeluaran tersebut adalah suatu proses distribusi pendapatan kepada masyarakat. Kegagalan pemerintah dalam melakukan distribusi anggaran negara dapat mengancam keberadaan negara seperti yang terjadi dalam sejarah peradaban islam, dimana kesalahan dalam melakukan kebijakan anggaran menyebabkan kemunduran dan kehancuran negara, baik karena menyebabkan negara menjadi lemah, juga karena terjadinya pertikaian intern.
Dalam konsep ekonomi islam, belanja negara harus sesuai dengan syari’iyyah dan penentu skala prioritas, para ulama terdahulu telah memberikan kaidah umum yang disarikan dari Al-quran dan as-sunah. Kaidah-kaidah adalah:
1.      Bahwa timbangan kebijakan pengeluaran atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
2.      Menghindari masyaqqoh menurut arti bahasa adalah al-ta’ab, yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran, kesulitan dan mudharat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
3.      Mudharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudharat dalam skala umum.
4.      Pengorbanan individu atau kerugian individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
5.      Kaidah “al-giurmu bil gunmi”, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban (yang ingin beruntung harus siap menanggung kerugian).
Tujuan pembelanjaan pemerintah dalam islam, sebagai berikut:
1.      Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
2.      Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.
3.      Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
4.      Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
5.      Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.



Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut:
1.      Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
2.      Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
3.      Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.

Secara lebih perinci pembelanjaan negara harus didasarkan pada hal-hal berikut:
1.      Bahwa kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan asas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
2.      Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubadzir dan kikir di samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
3.      Kaidah selanjutnya adalah tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walupun boleh berpihak pada kelompok miskin.
4.      Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.
5.      Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, di mulai dari yang wajib, sunnah, dan mubah.

Adapun belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia, mencakup pengadaan infrastruktur air, listrik, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Adapun kaidahnya adalah adanya pemasukan yang sesuai dengan syariah untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, seperti dari sektor investasi pemerintah atau jizyah atau wasiat atau harta warisan yang tidak ada pemiliknya. Selanjutnya adalah belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya. Bentuk pembelanjaan seperti ini biasanya melalui mekanisme subsidi, baik subsidi langsung seperti memberi bantuan secara Cuma-Cuma atau subsidi tidak langsung melalui mekanisme produksi barang-barang yang disubsidi.subsidi sendiri sesuai dengan konsep syariah yang memihak kepada kaum fuqoro dalam hal kebijakan keuangan, yaitu bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka. Tetapi konsep subsidi harus dibenahi sehingga mekanisme tersebut mencapai tujuannya. Konsep tersebut diantaranya adalah dengan penentuan subsidi itu sendiri, yaitu bagi yang membutuhkan bukan di nikmati oleh orang kaya, atau subsidi dalam bentuk bantuan langsung. Sebagian ulama membolehkan pembiayaan subsidi dari sumber zakat.

KEBIJAKAN PENGELUARAN NEGARA
Menurut Ibnu Taimiyah, prinsip dasar dari pengelolaan pengeluaran adalah pendapatan yang berada di tangan pemerintah atau negara merupakan milik masyarakat sehingga harus dibelanjakan untuk kebutuhan masyarakat sesuai dengan pedoman Allah SWT. Misalkan kegiatan hiburan yang tidak islami. Saat membelanjakan uang masyarakat, maka harus di prioritaskan kepada hal-hal yang  penting. Dalam pandangannya, pembelanjaan utama antara lain :
1.      Kaum miskin dan yang membutuhkan.
2.      Pemeliharaan tentara untuk jihad dan pertahanan.
3.      Pemeliharaan ketertiban dan hukum internal.
4.      Pensiun dan gajib pegawai.
5.      Pendidikan.
6.      Infrastruktur.
7.      Kesejahteraan umum.
Dalam pengalokasikan sumber penerimaan terhadap pengeluaran tidak serta-merta dilakukan untuk pengeluaran tersebut. Ada pengaturan dan penyesuaian antara sumber pendapatan dan pengeluaran. Untuk penerimaaan dari zakat dan ghanimah peruntukannya sudah ditentukan secara jelas dalam Al-qur’an, sedangkan fai pemanfatannya lebih felksibel untuk mengcover pengeluaran publik lainnya. Pengeluaran dana zakat ditetapkan Al-Qur’an kepada delapan asnaf, yaitu: 1. Fakir, 2. Miskin, 3. Amilin, 4. Mualaf, 5. Al-Riqab, 6. Orang yang berutang, 7. Fisabilillah, 8. Ibnu sabil. Adapun untuk ghanimah ditentukan 4/5 bagian untuk yang pergi berperang, sedangkan 1/5 bagian untuk Allah dan Rasul-nya dalam hal ini adalah negara untuk dibelanjakan bagi kebutuhan umat.
Adapun biaya pengeluaran lainnya menurut Ibnu Taimiyah (Hasan: 1992) meliputi:
a.       Biaya pejabat pemerintah seperti gubernur, menteri yang dibiayai oleh fai.
b.      Mengaji qadi, hakim sebagai petugas yang menjaga keadilan.
c.       Fasilitas pendidikan dan tenaga guru untuk menciptakan masyarakat yang baik dan terdidik.
d.      Fasilitas publik, infrastruktur, dan kebutuhan yang tidak dapat disediakan secara individu harus disediakan oleh negara seperti jembatan, bendungan, dan lain-lain yang harus dibiayai oleh fai.
Menurut Sakti (2007), dalam islam semua jenis pendapatan dimasukan kedalam baitulmal, lalu digunakan pada dua jenis penyaluran, anggaran untuk kesejahteraan dan anggaran untuk umum. Anggaran untuk peningkatan kesejahteraan berasal dari pendapatan zakat dan sedekah. Adapaun anggaran untuk kesejahteraan berasal dari pendapatan lainnya, seperti pajak dan nonpajak. Didapatkan bahwa islam lebih terfokus pada kesejahteraan masyarakatnya dari pada pertumbuhan ekonomi semata. Dalam pengelolaan agama islam pemerintah sebaiknya mendahulukan kepentingan syariah dari pada pertimbangan negara yang bersifat keduniaan. Berikut ini tabel alokasi pengeluaran dari sumber penerimaan negara.
Alokasi Pengeluaran dari Sumber Penerimaan Negara
Penerimaan
Pengeluaran
Jenis regulasi

Zakat
Kebutuhan dasar
Kharaj
Kesejahteraan sosial
Jizyah
Pendidikan dam penelitian
Jenis sukarela

Ushur
Infrastruktur (fasilitas publik)
Infak sedekah
Dakwah dan propaganda Islam
Wakaf
Administrasi Negara
Jenis kondisional

Khums

Pajak

Keuntungan BUMN

Lain-lain


1.      Kebijakan Pengeluaran Zaman Rasulullah
Tidak ada catatan mengenai pengeluaran secara perinci, tetapi secara garis besar pengeluaran negara pada zaman rasulullah sebagai berikut :
a.       Pengeluaran Primer
-          Biaya pertahanan, seperti persenjataan, unta, kuda, dan persediaan.
-          Penyaluran zakat dan ushur kepada yang berhak menerimanya sesuai ketentuan Al-Quran.
-          Pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muazin, dan pejabat negara lainnya.
-          Pembayaran upah para sukarelawan.
-          Pembayaran utang negara.
-          Bantuan untuk musafir (dari daerah Fadak).
b.       Pengeluaran sekunder
a)      Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah.
b)      Hiburan untuk para delegasi keagamaan.
c)      Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta biaya perjalanan mereka.
d)     Hadiah untuk pemerintahan negara lain.
e)      Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan muslim.
f)       Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
g)      Pembayaran tunjangan untuk orang miskin.
h)      Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah.
i)        Pengeluaran rumah tangga Rasulullah (hanya jumlah kecil, yakni 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap isterinya).
j)        Persediaan darurat (sebagian dari pendapatan pada perang Khaibar).

2.   Kebijakan pengeluaran non-zakat masa Al-Khulafa Ar-Rasyidun
1) Abu Bakar As-Siddiq (11-13 H/632-634 M)
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, kebijakan pengelolaan anggaran yang dilakukan yaitu dengan langsung membagi habis harta bait al-mal. Sistem pendistribusian seperti ini melanjutkan sistem pendistribusian pada masa Rasulullah.
2) Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, beliau mengambil kebijakan yang berbeda dengan para pendahulunya dalam mengelola bait al-mal. Kebijakan yang diambil adalah tidak menghabiskan seluruh pendapatan negara secara sekaligus, melainkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan, sebagian di antaranya digunakan untuk dana cadangan.
Dalam melaksanakan anggaran pengeluaran negara, Khalifah Umar bin Khattab menekankan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan kekayaan yang berhasil dikumpulkan dalam bait al-mal. Dana pada bait al-mal adalah milik kaum muslimin, sehingga menjadi tanggung jawab negara menjamin kesejahtraan rakyatnya.
3) Usman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Ada beberapa kebijakan pengeluaran kontroversial yang dilakukan Khalifah yang menimbulkan kericuhan di kalangan umat Islam, yaitu:
a)      Kebijakan untuk memberikan kepada kerabatnya harta dari bait al-mal. Dalam hal ini Usman mengatakan dalam pidatonya: “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka. Namun saya mengambil apa yang menjadi hak saya dan saya bagikan kepada saudara-saudara dekatku.” Ini berbeda dengan apa yang dilakukan para khalifah sebelumnya.
b)      Menggunakan dana zakat untuk pembiayaan perang atau pembiayaan lainnya. Kebijakan ini dianggap kurang tepat oleh sahabat karena menyalahi aturan Allah dalam distribusi zakat sebagaimana yang diperintahkan dala Al-Qur’an. Kebijakan ini menimbulkan kesulitan bagi pemerintahannya sendiri karena jatah zakat yang seharusnya diberikan kepada fakir miskin dialihkan untuk pembiayaan lain, maka terjadi kesenjangan antara kaya dan miskin.
c)      Kebijakan Usman ra untuk memberikan tambahan gaji bagi para pejabat negara, beberapa di antaranya memiliki hubungan dengan kekerabatan dengannya.
4) Ali bin Abi Talib (35-40 H/656-661 M)
Khalifah Ali bin Abi Talib hidup sangat sederhana dan sangat ketat dalam melaksanakan keuangan negara. Ali tidak sepaham dengan Umar dalam masalah pendistribusian harta bait al-mal. Keputusan Umar dalam pertemuan dengan Majelis Syura yang menetapkan bahwa sebagian dari harta bait al-mal dijadikan cadangan, tidak sejalan dengan pedapat Ali, sehingga pada saat Ali diangkat menjadi khalifah, kebijakan yang dilakukan berubah. Ali mendistribusikan seluruh pendapatan bait al-mal yang ada di Madinah, Kufah, dan Busra.

SEKILAS KEBIJAKAN PENGELUARAN NONZAKAT KONTEMPORER
Di masa Rasulullah SAW kebijakan anggaran sangat sederhana dan tidak serumit sistem anggaran modern. Hal ini sebagian karena telah berubahnya keadaan sosioekonomik secara fundamental, dan sebagian lagi karena negara Islam yang didirikan dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW (1997: 234).
Anggaran modern merupakan suatu campuran rumit antara rencana dan proyek yang harus dilaksanakan di masa depan, maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang terdapat pada jalan pertumbuhan ekonomi negara. Negara Islam modern harus menerima konsep anggaran modern dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit anggaran. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang mutlak diperlukan dan mencari jalan dengan cara untuk mencapainya, baik dengan rasionalisasi struktur pajak atau dengan mengambil kredit dari sistem perbankan atau dari luar negeri (Mannan: 235).
Telah kita lihat bahwa selama masa Islam dini, penerimaan zakat dan sedekah merupakan sumber pokok pendapatan. Jelaslah, di zaman modern, penerimaan ini tidak dapat memenuhi persyaratan anggaran yang berorientasikan pertumbuhan modern dalam suatu negara Islam. Diperlukan untuk mengenakan pajak baru, terutama pada orang yang lebih kaya demi kepentingan kemajuan dan keadilan sosial. As-Sunah dengan jelas menyatakan tentang hal ini: “Selalu ada yang harus dibayar selain zakat.” Maka Rasulullah SAW berpesan dan memerintahkan pengeluaran untuk kebajikan masyarakat. Sabdanya: “Kekayaan harus diambil dari si kaya dan dikembalikan kepada si miskin” (H.R Bukhari) (Mannan: 228).
Setiap warga negara harus menyumbangkan keuangan negara sesuai dengan kemampuannya, yaitu sesuai dengan pendapatan. Menurut prinsip ekonomi, biaya pungutan pajak tidak boleh melebihi pendapatan dari pungutan pajak itu sendiri. Akan tetapi, mengenai masalah zakat, pungutan zakat tidak memerlukan sistem organisasi yang lengkap yang membutuhkan biaya yang besar. Zakat merupakan bentuk ibadah seperti amalan shalat setiap hari atau berpuasa, sehingga kebanyakan orang berlomba-lomba mau menunjukkan melaksanakan tanggung jawab ini secepat mungkin (Rahman, 1996: 335).
Kitab Al-Qur’an barangkali adalah satu-satunya yang memuat firman tentang kebijakan negara mengenai pengeluaran pendapatan negara secara cermat. Penerimaan zakat yang dipungut dari kaum Muslimin dapat juga digunakan untuk kesejahteraan kalangan nonmuslim. Sesungguhnya, bila kita memerhatikan jiwa administrasi keuangan Nabi SAW tidak ada suatu kesulitan pun dalam menyimpulkan bahwa hukum Islam mengenai keuangan negara sangat elastis sehingga dapat diperluas untuk memenuhi persyaratan zaman modern.

Daftar Isi
Nurul Huda, dkk. Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah. Kencana. Jakarta: 2012.
Jurnal Keuangan Publik Islam (Kebijakan Pengeluaran Instrumen Non-zakat Dalam Islam, Oleh: Dian Hariyadi; Habiburrahman; Safrudin)


Zakat Investasi Properti (pabrik, gedung, dan dan lain-lain)

Pengertian Zakat Investasi Properti
Wahbah Zuhaili di dalam al-fiqih al-islami wa’adillatuhu menyatakan bahwa pada saat ini modal dalam bentuk uang tidak hanya dikonsentrasikan kepada pengelolahan tanah dan perdagangan, akan tetapi juga sudah diarahkan kepada pendirian bangunan-bangunan untuk disewakan, pabrik-pabrik, sarana transportasi udara,laut,darat dan lain sebagainya. Yusuf al-qaradhawi dalam fiqih zakat mengistilahkan kegiatan ini dengan al-musthaghallat atau investasi baik untuk disewa kan maupun melakukan kegiatan produksi yang kemudian dijual. Ia memberikan contoh perumahan, alat transportasi yang disewakan, bahkan juga pabrik-pabrik yang memproduksi berbagai komoditas untuk kemudian dijual di pasar-pasar. Hasil investasipun wajib dikeluarkan zakatnya selama telah memenuhi persyaratan dikeluarkannya zakat. Dengan demikian, zakat investasi adalah zakat yang harus dikeluarkan dari kekayaan yang telah mengalami pertumbuhan, seperti pabrik-pabrik, gedung-gedung, kapal-kapal laut, kapal-kapal terbang, alat-alat transportasi darat, dan lain sebagainya. Munculnya revolusi industri menjadikan rumah, tunggangan atau kendaraan, peralatan kerja, dan yang sejenisnya, yang semula dibebaskan dari kewajiban zakat berubah menjadi ada yang harus dikeluarkan zakatnya.
Rumah tinggal misalnya, tidaklah sama dengan gedung-gedung pencakar langit yang diinvestasikan, peralatan kerja seperti kapak, gergaji, dan lain-lain tidaklah sama dengan mesin-mesin dan peralatan yang dipakai dalam pekerjaan dan proses produksi sehingga memberikan keuntungan dan pendapatan yang besar bahkan sangat besar, binatang-binatang tunggangan tidaklah sama dengan mobil-mobil, kapal-kapal terbang, kapal-kapal laut dan lain sebagainya, perabot-perabot rumah tangga tidaklah sama dengan perabot-perabot kursi dan berbagai macam perlengkapan yang disewakan oleh toko-toko alat perlengkapan.

Kriteria Yang Wajib Dizakatkan Invesatasi Properti
Berikut contoh harta yang termasuk investasi ini antara lain:
a)      Rumah yang disewakan untuk kontrakan atau rumah kost. Hotel dan properti yang disewakan seperti untuk kantor, toko, showroom, pameran atau ruang pertemuan.
b)      Kendaraan seperti angkot, taxi, bajaj, bus, perahu, kapal laut, truk bahkan pesawat terbang.
c)      Pabrik dan industri yang memproduksi barang-barang.

Yang Wajib Dizakati adalah Hasil Bukan Modal 

Yang wajib dikeluarkan zakatnya bukan dari nilai investasi itu, tetapi pemasukan hasil dari investasi itu. Bila berbentuk rumah kontrakan, maka uang sewa kontrakan. Bila kendaraan yang disewakan, maka uang sewanya. Bila pabrik dan industri, maka nilai produknya. Bila saham, maka nilai pertambahannya atau keuntungannya. Karena itu pengeluaran zakatnya bukan dihitung berdasarkan perputaran tahun, tetapi berdasarkan pemasukan hasil. Kapan menerima uang masuk maka dikeluarkan zakatnya. 

Cara Menetapkan Zakat Investasi Properti

1)      Mukhtamar kedua para ulama  yang membahas masalah keislaman pada tahun 1965 M membuat sebuah keputusan bahwa harta yang tumbuh dan berkembang, yang belum ada nash atau dalilnya atau belum ada ketentuan fiqh yang mewajibkannya maka hukumnya wajib dizakati, bukan dari jenis bendanya, akan tetapi keuntungan bersih yang didapatkannya
2)      Barang-barang konsumsi, seperti barang tidak bergerak, untuk disewakan, wajib dizakati, seperti halnya zakat perdagangan yang harus dikeluarkan setiap tahun.
3)       Kalau harta kekayaan milik sebauh perusahaan patungan yang dijadikan patokan nisab bukanlah keuntungan bersih perusahaan, tetapi nisabnya dilihat dari keuntungan bersih orang-orang yang ikut serta dalam patungan tersebut

Perhitungan Zakat Investasi Properti

Dilihat dari karakteristik investasi, biasanya modal tidak bergerak dan tidak terpengaruh terhadap hasil produksi maka zakat investasi lebih dekat ke zakat pertanian. Pendapat ini diikuti oleh ulama modern seperti Yusuf Qordhowi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Abdurahman Hasan. Dengan demikian zakat investasi dikeluarkan pada saat menghasilkan sedangkan modal tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5 % atau 10 %. 5 % untuk penghasilan kotor dan 10% untuk penghasilan bersih. Berikut salah satu contoh perhitugan zakat investasi properti : 
Hj. Nurul adalah seorang yg kaya raya, ia memiliki rumah kontrakan berjumlah 20 rumah, dengan tarif berbulannya seharga Rp300.000/rumah. Setiap bulannya Hj. Nurul mengeluarkan Rp500.000,- untuk biaya perawatan seluruh rumah kontrakannya. Apakah Hj. Nurul termasuk yg wajib membayar zakat? berapakah zakatnya?
Penghasilan dari rumah kontrakan dianalogikan dengan zakat pertanian atau hasil tani, yaitu nishabnya senilai 653 kg beras dengan tarif 5% dari bruto dan 10% dari netto. Setiap bulannya Hj. Nurul memiliki penghasilan sebanyak 20 x 300.000 = Rp6.000.000,-
ada dua cara dalam menghitung zakatnya, yaitu:
o   Bruto : hasil investasi x 5% = Zakat Investasi
Rp6000.000×5% =Rp300.000,- jadi zakatnya Rp300.000,-
o   Netto = (hasil investasi – biaya yg dikeluarkan)x10% = Zakat investasi
(6000.000 – 500.000 ) x10% = 550.000, jadi zakatnya rp550.000,-

Investasi adalah penanaman modal atau uang dalam proses produksi dengan pembelian gedung permesinan,bahan cadangan,penyelenggaraan ongkos,serta perkembanganya. Dengan demikian ,cadangan modal di perbesar sejauh tidak perlu ada modal barang yang harus di ganti. Demikian menurut ensiklopedia dalam indonesia. Pada saat ini penanaman modal di laksanakan dalam berbagai bidang usaha seperti perhotelan, perumahan, wisma, pabrik, transportasi pertokoan,dll.
Sebagian ulama berpendapat,bahwa penanaman modal dalam berbagai bentuk kegiatan di kenakan zakatnya, karena hal itu merupakan kekayaan dan setiap kekayaan ada hak lain di dalamnya. Pendapat ini di anut oleh ulama-ulama mazhab maliki, Hanbali dan Mazhab Zaidiyah,Ulama-ulama Muatakhirin,seperti Abu Zahrah,Abd.Wahab Khallaf dan Abd,Rahman Hasan sependapat pula dengan pendapat yang kedua ini. Karena sebagai landasaya kita dapat melihat kembali dalil-dalil yang di kemukakan terdahulu,seperti surat At-taubah ayat 103.

خُذْ مِنْ أَمْوَلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُ هُمْ وَ تُزَ كِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيهِمْ إنَّ صَلَوتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمُ.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Mahamengetahui.”(at-Taubah: 103).

Zakat Profesi
Definisi Zakat Profesi
Mengenai pengertian profesi adalah sebuah pekerjaan, usaha profesi, atau pemberian jasa yang menghasilkan. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa profesi adalah “ pekerjaan sebagai atas keahliannya sebagai mata pencahariannya ”.  Zakat profesi adalah masalah baru, tidak pernah ada dalam sepanjang sejarah Islam sejak masa Rasulullah SAW hingga tahun 60-an akhir pada abad ke-20 yang lalu, ketika mulai muncul gagasan zakat profesi ini. Penggagas zakat profesi adalah Syeikh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh Az Zakah, yang cetakan pertamanya terbit tahun 1969. Yusuf al-qaradhawi menyatakan bahwa diantara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama.
Kajian dan praktik zakat profesi mulai marak di Indonesia kira-kira sejak tahun 90-an akhir dan awal tahun 2000-an. Khususnya setelah kitab Yusuf Qaradhawi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Didin Hafidhuddin dengan judul Fikih Zakat yang terbit tahun 1999. Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (guru, dokter, aparat, dan lain-lain) atau hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya. Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu.
Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari zakat, karena zakat secara hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan. Sejak saat itu zakat profesi mulai banyak diterapkan oleh lembaga pengelola zakat di Indonesia, baik BAZ (badan amil zakat) milik pemerintah, baik BASDA atau BASNAZ, maupun LAZ (lembaga amil zakat) milik swasta, seperti PKPU, Dompet Dhuafa, dan sebagainya.
Yusuf Al Qardawi menyatakan bahwa barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam, yaitu :
a)      Pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung pada orang lain, maksudnya berkat kecekatan tangan ataupun otak seseorang. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan professional, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, advokad, seniman, akuntan, apoteker, kontraktor, dan lain sebagainya.
b)      Kedua, yaitu pekerjaan yang diberikan seseorang buat pihak lain, baik pemerintah maupun perusahaan, maupun perorangan yang memperoleh upah yang diberikan, sebagai hasil kerja tangan atau otak maupun keduanya. Penghasilan dari perkerjaan seperti itu berupa gaji, upah ataupun honorarium. Macam penghasilan tersebut selama telah mencapai satu nishab maka wajib bagi pemiliknya untuk mengeluarkan zakat.

Landasan Hukum Zakat Profesi
Setiap penghasilan, apapun jenis profesi yang menyebabkan timbulnya penghasilan tersebut diharuskan membayar zakat bila telah mencapai nisab. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 267 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (٢٦٧)
Artinya : 267. “ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji ”.
Meskipun tidak pernah disebutkan secara langsung di dalam Al Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad, jika dalil-dalil umum tentang zakat dikaji lebih mendalam lagi maka akan ditemukan sebuah isyarat akan berlakunya hukum zakat bagi profesi. Isyarat tersebut berupa perintah umum untuk mengeluarkan zakat terhadap harta yang melebihi kebutuhan. Dewasa ini pekerjaan seseorang sebagai professional mempunyai penghasilan yang cukup besar. Abdul Ghofur Anshori menyatakan apabila seorang petani yang pada zaman sekarang ini bersusah payah menanam dan memelihara sawahnya serta memanennya saja dikenakan wajib zakat apalagi seorang professional yang memiliki penghasilan cukup besar dengan pekerjaan yang tidak menuntut etos kerja super keras layaknya petani.
Adanya zakat profesi dipertegas oleh konsensus yang dihasilkan dalam Muktamar Internasional tentang zakat di Kuwait pada tanggal 29 Rajab 1404 atau 30 April 1984. Para peserta muktamar tersebut telah bersepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishab.

Perhitungan Zakat Profesi
Penghasilan dari profesi ini adalah penghasilan dari kegiatan praktek secara profesional baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar pada departemen yang terkait, misalnya praktek dokter, akuntan, notaris, konsultan, dan sejenisnya.
Berikut ini adalah contoh perhitungan zakat untuk penghasilan dari praktek dokter.
Pos
Saldo Akuntansi
Koreksi *)
Saldo Zakat


Kurang
Tambah

Penghasilan dari praktek
72.000
---
---
72.000
Biaya Operasional :
-Biaya sewa tempat **)
-Biaya pegawai
-Biaya perlengkapan praktek
-Biaya transportasi praktek
-Biaya penyusutan alat-alat praktek
-Biaya praktek lain-lain


15.000



---


---


15.000
12.000
---
---
12.000

5.000

---

---

5.000
5.000
---
---
5.000

6.000

2.000

---

---

---

---

6.000

2.000
Total Biaya Operasional
45.000
---
---
45.000
Pendapatan Bersih
27.000
---
---
27.000
Zakat 10% x Rp 27.000.000.-



2.700
(dalam ribuan rupiah)
*)         Koreksi kurang artinya mengurangi dasar pengenaan zakat.
            Koreksi tambah artinya menambah dasar pengenaan zakat.
**)       Jika tempat/gedung milik sendiri, maka penyusutan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan; namun biaya pemeliharaanya dapat dikurangkan dari penghasilan.       

Zakat Obligasi
Definisi Zakat Obligasi
Obligasi memberikan keuntungan tertentu atas pinjaman tanpa bertambah atau berkurang. Pembawa obligasi berarti pemberi hutang atau pinjaman kepada perusahaan, bank, atau pemerintah, sedangkan pembawa saham berarti pemilik sebagian perusahaan dan bank tertentu sebesar nilai sahamnya. Obligasi dibayar setelah waktu tertentu, sedangkan saham hanya dibayar dari keuntungan bersih perusahaan. Saham dan obligasi dipandang sama dengan barang perdagangan, sehingga perhitungan zakatnya dianalogkan dengan hasil perniagaan.
Yusuf al-qaradhawi menyatakan bahwa obligasi adalah perjanjian tertulis dari bank, perusahaan, atau pemerintah kepada pemegangnya untuk melunasi sejumlah pinjaman dalam masa tertentu dengan bunga tertentu pula. Selanjutnya, yusuf al-qaradhawi mengemukakan perbedaan antara saham dan obligasi. Pertama, saham merupakan bagian harta dari bank atau perusahaan sedangkan obligasi merupakan pinjaman kepada perusahaan, bank, atau pemerintah. Kedua, saham memberikan keuntungan sesuai dengan keuntungan perusahaan atau bank, yang besarnya tergantung pada keberhasilan perusahaan atau bank itu, tetapi juga menanggung kerugiannya. Sedangkan obligasi memberikan keuntungan tertentu (bunga) atas pinjaman tanpa bertambah atau berkurang. Ketiga, pemilik saham berarti pemilik perusahaan dan bank itu sebesar sahamnya. Sedangkan pemilik obligasi berarti pemberi hutang atau pinjaman kepada perusahaan, bank atau pemerintahan. Keempat, deviden saham hanya dibayar dari keuntungan bersih perusahaan sedangkan bunga obligasi dibayar setelah waktu tertentu yang ditetapkan.
            Selama perusahaan tersebut tidak memproduksi barang-barang atau komoditas-komoditas yang dilarang, maka saham menjadi salah satu objek atau sumber zakat. Sedangkan obligasi sangat tergantung pada bunga yang termasuk kategori riba yang dilarang secara tegas oleh ajaran islam. Meskipun demikian, yang menarik adalah sebagian ulama, walaupun sepakat akan haramnya bunga, tetapi mereka tetap mennyatakan bahwa obligasi adalah satu objek atau sumber zakat dalam perekonomian modern ini. Muhammad abu zahrah menyatakan bahwa jika obligasi itu kita bebaskan dari zakat maka akibatnya orang lebih suka memanfaatkan obligasi daripada saham. Dengan demikian orang akan terdorong untuk meninggalkan yang halal dan melakukan yang haram. Dan juga, bila ada harta haram, sedangkan pemiliknya tidak diketahui, maka ia disalurkan kepada sedekah.
            Jika obligasi hanya tergantung pada bunga, maka bukan merupakan objek zakat  atau sumber zakat. Karena zakat hanyalah diambil dari harta yamg baik dan halal. sementara bunga  termasuk kategori riba, dan riba itu sangat jelas keharamannya, baik dalam jumlah yang sedikit maupun yang berlipat ganda.
Hal ini sejalan dengan firman allah SWT dalam surat ali imran : 130
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Surat al-baraqah 278
”hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipunggut) jika kamu orang-orang beriman.”
Keharaman riba (bunga) disamping berlandaskan kepada ayat-ayat tersebut diatas beberapa buah hadits nabi yang shalih, juga hamper seluruh ulama berpendapat hal yang sama, bahkan peserta siding Organisasi Konferensi Islam (OKI) kedua yang berlangsung di Karachi Pakistan pada desember 1970 menyatakan hal yang sama pula, yaitu bahwa praktik bank dengan system bunga adalah tidak sesuai dengan syariat islam.

Ketentuan Tentang Zakat Saham dan Obligasi
1.      Saham sebagai investment tidak dipungut zakatnya, apabila perusahaan telah memperhitungkan zakat atas laba perusahaan, dan saham berkembang bukan karena nilai kurs, namun karena dividen. Untuk itu memegang prinsip bahwa zakat tidak dipungut dua muka, artinya muzakki harus mengeluarkan satu jenis zakat saja dari satu objek zakat, tidak dilakukan dua kali walaupun cara berkembangnya melalui beberapa cara atau sumber.
2.      Obligasi akan dipungut zakatnya apabila telah sampai satu tahun, dan prinsip zakatnya menganut zakat piutang. Dasar pengenaan zakatnya adalah nilai obligasi ditambah bunganya. Para ulama berpendapat bahwa bunga itu haram, namun tidak bisa dijadikan alasan untuk memebebaskan pemilik obligasi atau lainnya dari kewajiban membayar zakat (Yusuf Qardawi, 1991: 495). Zakatnya adalah sebesar 2,5% dari dasar pengenaan zakat.

Perhitungan Zakat Obligasi
Bapak Andi memiliki sertifikat obligasi syariahdari sebuah perusahaan A dengan sistemmudharabah sebesar 100 jt dan bagi hasil 10%.Jika keuntungan perusahaan sebesar 1 miliarmaka perhitungan zakatnya:
Modal : 100 jt
Laba bagi hasil: 10%x 1 miliar= 100 juta
Zakat : 100 jt + 100 jt x 2,5 % = 5 juta

DAFTAR PUSTAKA
Drs Mursyidi, B.Sc.,S.E. Akuntansi Zakat Kontemporer. PT. Rosda. Bandung : 2003.

Hafinuddin Didin. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Gema Insani. Jakarta : 2002.