Kamis, 25 Desember 2014

INSTRUMEN NONZAKAT SEBAGAI SUMBER PENGELUARAN KEUANGAN NEGARA

KAIDAH BELANJA NEGARA ISLAM
Kebijakan pengeluaran adalah unsur kebijakan fiskal dimana pemerintah atau negara membelanjakan pendapatan yang telah di kumpulkan tadi. Dengan kebijakan pengeluaran inilah negara dapat melakukan proses distribusi pendapatan kepada masyarakat dan dengan kebijakan ini pula maka negara bisa menggerakan perekonomian yang ada di masyarakat. Pemerintah diharapkan dapat menggunakan keuangan tersebut dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meningkatkan ketakwaan. Kebijakan pengeluaran harus bisa menjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa dan status sosial. Hanya saja intervensi negara melalui kebijakan fiskal diperlukan, berupa jaminan pemenuhan akan pangan, sandang, papan, khusus ditujukan kepada warga negara miskin yang kepala keluarganya dan ahli waris nya tidak mampu lagi memberikan nafkah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok dan keluarganya. Sedangkan warga negara yang berasal dari keluarga mampu tidak mendapatkan subsidi negara.
Selanjutnya intervensi negara dalam pengadaan jaminan dan pelayanan keamanan, kesehatan dan pendidikan secara Cuma-Cuma ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang apakah warga tersebuut dari golongan kaya atau tidak. Artinya, dalam katagori ini subsidi diberikan kepada seluruh rakyat. Negara islam wajib mengadakan fasilitas umum dan pelayanan publik yang sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat dalam kehiduan sehari-hari, sehingga berbagai kepentingan dan urusan masyarakat terpenuhi dengan lancar. Keberhasilan negara untuk melakukan kebijakan pengeluaran sesuai tujuan yang disyaratkan syariah akan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Karena kebijakan pengeluaran tersebut adalah suatu proses distribusi pendapatan kepada masyarakat. Kegagalan pemerintah dalam melakukan distribusi anggaran negara dapat mengancam keberadaan negara seperti yang terjadi dalam sejarah peradaban islam, dimana kesalahan dalam melakukan kebijakan anggaran menyebabkan kemunduran dan kehancuran negara, baik karena menyebabkan negara menjadi lemah, juga karena terjadinya pertikaian intern.
Dalam konsep ekonomi islam, belanja negara harus sesuai dengan syari’iyyah dan penentu skala prioritas, para ulama terdahulu telah memberikan kaidah umum yang disarikan dari Al-quran dan as-sunah. Kaidah-kaidah adalah:
1.      Bahwa timbangan kebijakan pengeluaran atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
2.      Menghindari masyaqqoh menurut arti bahasa adalah al-ta’ab, yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran, kesulitan dan mudharat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
3.      Mudharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudharat dalam skala umum.
4.      Pengorbanan individu atau kerugian individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
5.      Kaidah “al-giurmu bil gunmi”, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban (yang ingin beruntung harus siap menanggung kerugian).
Tujuan pembelanjaan pemerintah dalam islam, sebagai berikut:
1.      Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
2.      Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.
3.      Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
4.      Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
5.      Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.



Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut:
1.      Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
2.      Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
3.      Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.

Secara lebih perinci pembelanjaan negara harus didasarkan pada hal-hal berikut:
1.      Bahwa kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan asas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
2.      Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubadzir dan kikir di samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
3.      Kaidah selanjutnya adalah tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walupun boleh berpihak pada kelompok miskin.
4.      Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.
5.      Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, di mulai dari yang wajib, sunnah, dan mubah.

Adapun belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia, mencakup pengadaan infrastruktur air, listrik, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Adapun kaidahnya adalah adanya pemasukan yang sesuai dengan syariah untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, seperti dari sektor investasi pemerintah atau jizyah atau wasiat atau harta warisan yang tidak ada pemiliknya. Selanjutnya adalah belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya. Bentuk pembelanjaan seperti ini biasanya melalui mekanisme subsidi, baik subsidi langsung seperti memberi bantuan secara Cuma-Cuma atau subsidi tidak langsung melalui mekanisme produksi barang-barang yang disubsidi.subsidi sendiri sesuai dengan konsep syariah yang memihak kepada kaum fuqoro dalam hal kebijakan keuangan, yaitu bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka. Tetapi konsep subsidi harus dibenahi sehingga mekanisme tersebut mencapai tujuannya. Konsep tersebut diantaranya adalah dengan penentuan subsidi itu sendiri, yaitu bagi yang membutuhkan bukan di nikmati oleh orang kaya, atau subsidi dalam bentuk bantuan langsung. Sebagian ulama membolehkan pembiayaan subsidi dari sumber zakat.

KEBIJAKAN PENGELUARAN NEGARA
Menurut Ibnu Taimiyah, prinsip dasar dari pengelolaan pengeluaran adalah pendapatan yang berada di tangan pemerintah atau negara merupakan milik masyarakat sehingga harus dibelanjakan untuk kebutuhan masyarakat sesuai dengan pedoman Allah SWT. Misalkan kegiatan hiburan yang tidak islami. Saat membelanjakan uang masyarakat, maka harus di prioritaskan kepada hal-hal yang  penting. Dalam pandangannya, pembelanjaan utama antara lain :
1.      Kaum miskin dan yang membutuhkan.
2.      Pemeliharaan tentara untuk jihad dan pertahanan.
3.      Pemeliharaan ketertiban dan hukum internal.
4.      Pensiun dan gajib pegawai.
5.      Pendidikan.
6.      Infrastruktur.
7.      Kesejahteraan umum.
Dalam pengalokasikan sumber penerimaan terhadap pengeluaran tidak serta-merta dilakukan untuk pengeluaran tersebut. Ada pengaturan dan penyesuaian antara sumber pendapatan dan pengeluaran. Untuk penerimaaan dari zakat dan ghanimah peruntukannya sudah ditentukan secara jelas dalam Al-qur’an, sedangkan fai pemanfatannya lebih felksibel untuk mengcover pengeluaran publik lainnya. Pengeluaran dana zakat ditetapkan Al-Qur’an kepada delapan asnaf, yaitu: 1. Fakir, 2. Miskin, 3. Amilin, 4. Mualaf, 5. Al-Riqab, 6. Orang yang berutang, 7. Fisabilillah, 8. Ibnu sabil. Adapun untuk ghanimah ditentukan 4/5 bagian untuk yang pergi berperang, sedangkan 1/5 bagian untuk Allah dan Rasul-nya dalam hal ini adalah negara untuk dibelanjakan bagi kebutuhan umat.
Adapun biaya pengeluaran lainnya menurut Ibnu Taimiyah (Hasan: 1992) meliputi:
a.       Biaya pejabat pemerintah seperti gubernur, menteri yang dibiayai oleh fai.
b.      Mengaji qadi, hakim sebagai petugas yang menjaga keadilan.
c.       Fasilitas pendidikan dan tenaga guru untuk menciptakan masyarakat yang baik dan terdidik.
d.      Fasilitas publik, infrastruktur, dan kebutuhan yang tidak dapat disediakan secara individu harus disediakan oleh negara seperti jembatan, bendungan, dan lain-lain yang harus dibiayai oleh fai.
Menurut Sakti (2007), dalam islam semua jenis pendapatan dimasukan kedalam baitulmal, lalu digunakan pada dua jenis penyaluran, anggaran untuk kesejahteraan dan anggaran untuk umum. Anggaran untuk peningkatan kesejahteraan berasal dari pendapatan zakat dan sedekah. Adapaun anggaran untuk kesejahteraan berasal dari pendapatan lainnya, seperti pajak dan nonpajak. Didapatkan bahwa islam lebih terfokus pada kesejahteraan masyarakatnya dari pada pertumbuhan ekonomi semata. Dalam pengelolaan agama islam pemerintah sebaiknya mendahulukan kepentingan syariah dari pada pertimbangan negara yang bersifat keduniaan. Berikut ini tabel alokasi pengeluaran dari sumber penerimaan negara.
Alokasi Pengeluaran dari Sumber Penerimaan Negara
Penerimaan
Pengeluaran
Jenis regulasi

Zakat
Kebutuhan dasar
Kharaj
Kesejahteraan sosial
Jizyah
Pendidikan dam penelitian
Jenis sukarela

Ushur
Infrastruktur (fasilitas publik)
Infak sedekah
Dakwah dan propaganda Islam
Wakaf
Administrasi Negara
Jenis kondisional

Khums

Pajak

Keuntungan BUMN

Lain-lain


1.      Kebijakan Pengeluaran Zaman Rasulullah
Tidak ada catatan mengenai pengeluaran secara perinci, tetapi secara garis besar pengeluaran negara pada zaman rasulullah sebagai berikut :
a.       Pengeluaran Primer
-          Biaya pertahanan, seperti persenjataan, unta, kuda, dan persediaan.
-          Penyaluran zakat dan ushur kepada yang berhak menerimanya sesuai ketentuan Al-Quran.
-          Pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muazin, dan pejabat negara lainnya.
-          Pembayaran upah para sukarelawan.
-          Pembayaran utang negara.
-          Bantuan untuk musafir (dari daerah Fadak).
b.       Pengeluaran sekunder
a)      Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah.
b)      Hiburan untuk para delegasi keagamaan.
c)      Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta biaya perjalanan mereka.
d)     Hadiah untuk pemerintahan negara lain.
e)      Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan muslim.
f)       Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
g)      Pembayaran tunjangan untuk orang miskin.
h)      Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah.
i)        Pengeluaran rumah tangga Rasulullah (hanya jumlah kecil, yakni 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap isterinya).
j)        Persediaan darurat (sebagian dari pendapatan pada perang Khaibar).

2.   Kebijakan pengeluaran non-zakat masa Al-Khulafa Ar-Rasyidun
1) Abu Bakar As-Siddiq (11-13 H/632-634 M)
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, kebijakan pengelolaan anggaran yang dilakukan yaitu dengan langsung membagi habis harta bait al-mal. Sistem pendistribusian seperti ini melanjutkan sistem pendistribusian pada masa Rasulullah.
2) Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, beliau mengambil kebijakan yang berbeda dengan para pendahulunya dalam mengelola bait al-mal. Kebijakan yang diambil adalah tidak menghabiskan seluruh pendapatan negara secara sekaligus, melainkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan, sebagian di antaranya digunakan untuk dana cadangan.
Dalam melaksanakan anggaran pengeluaran negara, Khalifah Umar bin Khattab menekankan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan kekayaan yang berhasil dikumpulkan dalam bait al-mal. Dana pada bait al-mal adalah milik kaum muslimin, sehingga menjadi tanggung jawab negara menjamin kesejahtraan rakyatnya.
3) Usman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Ada beberapa kebijakan pengeluaran kontroversial yang dilakukan Khalifah yang menimbulkan kericuhan di kalangan umat Islam, yaitu:
a)      Kebijakan untuk memberikan kepada kerabatnya harta dari bait al-mal. Dalam hal ini Usman mengatakan dalam pidatonya: “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka. Namun saya mengambil apa yang menjadi hak saya dan saya bagikan kepada saudara-saudara dekatku.” Ini berbeda dengan apa yang dilakukan para khalifah sebelumnya.
b)      Menggunakan dana zakat untuk pembiayaan perang atau pembiayaan lainnya. Kebijakan ini dianggap kurang tepat oleh sahabat karena menyalahi aturan Allah dalam distribusi zakat sebagaimana yang diperintahkan dala Al-Qur’an. Kebijakan ini menimbulkan kesulitan bagi pemerintahannya sendiri karena jatah zakat yang seharusnya diberikan kepada fakir miskin dialihkan untuk pembiayaan lain, maka terjadi kesenjangan antara kaya dan miskin.
c)      Kebijakan Usman ra untuk memberikan tambahan gaji bagi para pejabat negara, beberapa di antaranya memiliki hubungan dengan kekerabatan dengannya.
4) Ali bin Abi Talib (35-40 H/656-661 M)
Khalifah Ali bin Abi Talib hidup sangat sederhana dan sangat ketat dalam melaksanakan keuangan negara. Ali tidak sepaham dengan Umar dalam masalah pendistribusian harta bait al-mal. Keputusan Umar dalam pertemuan dengan Majelis Syura yang menetapkan bahwa sebagian dari harta bait al-mal dijadikan cadangan, tidak sejalan dengan pedapat Ali, sehingga pada saat Ali diangkat menjadi khalifah, kebijakan yang dilakukan berubah. Ali mendistribusikan seluruh pendapatan bait al-mal yang ada di Madinah, Kufah, dan Busra.

SEKILAS KEBIJAKAN PENGELUARAN NONZAKAT KONTEMPORER
Di masa Rasulullah SAW kebijakan anggaran sangat sederhana dan tidak serumit sistem anggaran modern. Hal ini sebagian karena telah berubahnya keadaan sosioekonomik secara fundamental, dan sebagian lagi karena negara Islam yang didirikan dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW (1997: 234).
Anggaran modern merupakan suatu campuran rumit antara rencana dan proyek yang harus dilaksanakan di masa depan, maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang terdapat pada jalan pertumbuhan ekonomi negara. Negara Islam modern harus menerima konsep anggaran modern dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit anggaran. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang mutlak diperlukan dan mencari jalan dengan cara untuk mencapainya, baik dengan rasionalisasi struktur pajak atau dengan mengambil kredit dari sistem perbankan atau dari luar negeri (Mannan: 235).
Telah kita lihat bahwa selama masa Islam dini, penerimaan zakat dan sedekah merupakan sumber pokok pendapatan. Jelaslah, di zaman modern, penerimaan ini tidak dapat memenuhi persyaratan anggaran yang berorientasikan pertumbuhan modern dalam suatu negara Islam. Diperlukan untuk mengenakan pajak baru, terutama pada orang yang lebih kaya demi kepentingan kemajuan dan keadilan sosial. As-Sunah dengan jelas menyatakan tentang hal ini: “Selalu ada yang harus dibayar selain zakat.” Maka Rasulullah SAW berpesan dan memerintahkan pengeluaran untuk kebajikan masyarakat. Sabdanya: “Kekayaan harus diambil dari si kaya dan dikembalikan kepada si miskin” (H.R Bukhari) (Mannan: 228).
Setiap warga negara harus menyumbangkan keuangan negara sesuai dengan kemampuannya, yaitu sesuai dengan pendapatan. Menurut prinsip ekonomi, biaya pungutan pajak tidak boleh melebihi pendapatan dari pungutan pajak itu sendiri. Akan tetapi, mengenai masalah zakat, pungutan zakat tidak memerlukan sistem organisasi yang lengkap yang membutuhkan biaya yang besar. Zakat merupakan bentuk ibadah seperti amalan shalat setiap hari atau berpuasa, sehingga kebanyakan orang berlomba-lomba mau menunjukkan melaksanakan tanggung jawab ini secepat mungkin (Rahman, 1996: 335).
Kitab Al-Qur’an barangkali adalah satu-satunya yang memuat firman tentang kebijakan negara mengenai pengeluaran pendapatan negara secara cermat. Penerimaan zakat yang dipungut dari kaum Muslimin dapat juga digunakan untuk kesejahteraan kalangan nonmuslim. Sesungguhnya, bila kita memerhatikan jiwa administrasi keuangan Nabi SAW tidak ada suatu kesulitan pun dalam menyimpulkan bahwa hukum Islam mengenai keuangan negara sangat elastis sehingga dapat diperluas untuk memenuhi persyaratan zaman modern.

Daftar Isi
Nurul Huda, dkk. Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah. Kencana. Jakarta: 2012.
Jurnal Keuangan Publik Islam (Kebijakan Pengeluaran Instrumen Non-zakat Dalam Islam, Oleh: Dian Hariyadi; Habiburrahman; Safrudin)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar