KAIDAH BELANJA NEGARA ISLAM
Kebijakan pengeluaran adalah unsur
kebijakan fiskal dimana pemerintah atau negara membelanjakan pendapatan yang
telah di kumpulkan tadi. Dengan kebijakan pengeluaran inilah negara dapat
melakukan proses distribusi pendapatan kepada masyarakat dan dengan kebijakan
ini pula maka negara bisa menggerakan perekonomian yang ada di masyarakat.
Pemerintah diharapkan dapat menggunakan keuangan tersebut dalam meningkatkan
taraf hidup masyarakat dan meningkatkan ketakwaan. Kebijakan pengeluaran harus
bisa menjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang ditujukan kepada seluruh warga
negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa dan status sosial. Hanya
saja intervensi negara melalui kebijakan fiskal diperlukan, berupa jaminan
pemenuhan akan pangan, sandang, papan, khusus ditujukan kepada warga negara
miskin yang kepala keluarganya dan ahli waris nya tidak mampu lagi memberikan
nafkah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok dan keluarganya. Sedangkan
warga negara yang berasal dari keluarga mampu tidak mendapatkan subsidi negara.
Selanjutnya intervensi negara dalam
pengadaan jaminan dan pelayanan keamanan, kesehatan dan pendidikan secara
Cuma-Cuma ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang apakah warga
tersebuut dari golongan kaya atau tidak. Artinya, dalam katagori ini subsidi
diberikan kepada seluruh rakyat. Negara islam wajib mengadakan fasilitas umum
dan pelayanan publik yang sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat dalam
kehiduan sehari-hari, sehingga berbagai kepentingan dan urusan masyarakat
terpenuhi dengan lancar. Keberhasilan negara untuk melakukan kebijakan
pengeluaran sesuai tujuan yang disyaratkan syariah akan menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Karena kebijakan pengeluaran tersebut adalah suatu
proses distribusi pendapatan kepada masyarakat. Kegagalan pemerintah dalam
melakukan distribusi anggaran negara dapat mengancam keberadaan negara seperti
yang terjadi dalam sejarah peradaban islam, dimana kesalahan dalam melakukan
kebijakan anggaran menyebabkan kemunduran dan kehancuran negara, baik karena
menyebabkan negara menjadi lemah, juga karena terjadinya pertikaian intern.
Dalam konsep ekonomi islam, belanja
negara harus sesuai dengan syari’iyyah dan penentu skala prioritas, para ulama
terdahulu telah memberikan kaidah umum yang disarikan dari Al-quran dan as-sunah.
Kaidah-kaidah adalah:
1. Bahwa
timbangan kebijakan pengeluaran atau belanja pemerintah harus senantiasa
mengikuti kaidah maslahah.
2. Menghindari
masyaqqoh menurut arti bahasa adalah al-ta’ab,
yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran, kesulitan dan mudharat
harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
3. Mudharat
individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudharat dalam skala umum.
4. Pengorbanan
individu atau kerugian individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan
pengorbanan dalam skala umum.
5. Kaidah
“al-giurmu bil gunmi”, yaitu kaidah
yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban
(yang ingin beruntung harus siap menanggung kerugian).
Tujuan
pembelanjaan pemerintah dalam islam, sebagai berikut:
1. Pengeluaran
demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
2. Pengeluaran
sebagai alat redistribusi kekayaan.
3. Pengeluaran
yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
4. Pengeluaran
yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
5. Pengeluaran
yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.
Kebijakan belanja umum
pemerintah dalam sistem ekonomi syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian,
sebagai berikut:
1. Belanja
kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
2. Belanja
umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
3. Belanja
umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut
sistem pendanaannya.
Secara lebih perinci
pembelanjaan negara harus didasarkan pada hal-hal berikut:
1. Bahwa
kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan asas maslahat umum, tidak boleh
dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu,
apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
2. Kaidah
atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin
manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat
mubadzir dan kikir di samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak
bertentangan dengan syariah.
3. Kaidah
selanjutnya adalah tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan,
walupun boleh berpihak pada kelompok miskin.
4. Kaidah
atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja negara hanya
boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.
5. Kaidah
atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, di mulai dari yang wajib,
sunnah, dan mubah.
Adapun belanja umum
yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia, mencakup
pengadaan infrastruktur air, listrik, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya.
Adapun kaidahnya adalah adanya pemasukan yang sesuai dengan syariah untuk
pemenuhan kebutuhan tersebut, seperti dari sektor investasi pemerintah atau
jizyah atau wasiat atau harta warisan yang tidak ada pemiliknya. Selanjutnya
adalah belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh
masyarakat berikut sistem pendanaannya. Bentuk pembelanjaan seperti ini
biasanya melalui mekanisme subsidi, baik subsidi langsung seperti memberi
bantuan secara Cuma-Cuma atau subsidi tidak langsung melalui mekanisme produksi
barang-barang yang disubsidi.subsidi sendiri sesuai dengan konsep syariah yang
memihak kepada kaum fuqoro dalam hal kebijakan keuangan, yaitu bagaimana
meningkatkan taraf hidup mereka. Tetapi konsep subsidi harus dibenahi sehingga
mekanisme tersebut mencapai tujuannya. Konsep tersebut diantaranya adalah
dengan penentuan subsidi itu sendiri, yaitu bagi yang membutuhkan bukan di
nikmati oleh orang kaya, atau subsidi dalam bentuk bantuan langsung. Sebagian
ulama membolehkan pembiayaan subsidi dari sumber zakat.
KEBIJAKAN
PENGELUARAN NEGARA
Menurut
Ibnu Taimiyah, prinsip dasar dari pengelolaan pengeluaran adalah pendapatan
yang berada di tangan pemerintah atau negara merupakan milik masyarakat
sehingga harus dibelanjakan untuk kebutuhan masyarakat sesuai dengan pedoman
Allah SWT. Misalkan kegiatan hiburan yang tidak islami. Saat membelanjakan uang
masyarakat, maka harus di prioritaskan kepada hal-hal yang penting. Dalam pandangannya, pembelanjaan
utama antara lain :
1. Kaum
miskin dan yang membutuhkan.
2. Pemeliharaan
tentara untuk jihad dan pertahanan.
3. Pemeliharaan
ketertiban dan hukum internal.
4. Pensiun
dan gajib pegawai.
5. Pendidikan.
6. Infrastruktur.
7. Kesejahteraan
umum.
Dalam
pengalokasikan sumber penerimaan terhadap pengeluaran tidak serta-merta
dilakukan untuk pengeluaran tersebut. Ada pengaturan dan penyesuaian antara
sumber pendapatan dan pengeluaran. Untuk penerimaaan dari zakat dan ghanimah
peruntukannya sudah ditentukan secara jelas dalam Al-qur’an, sedangkan fai
pemanfatannya lebih felksibel untuk mengcover pengeluaran publik lainnya. Pengeluaran
dana zakat ditetapkan Al-Qur’an kepada delapan asnaf, yaitu: 1. Fakir, 2.
Miskin, 3. Amilin, 4. Mualaf, 5. Al-Riqab, 6. Orang yang berutang, 7.
Fisabilillah, 8. Ibnu sabil. Adapun untuk ghanimah ditentukan 4/5 bagian untuk
yang pergi berperang, sedangkan 1/5 bagian untuk Allah dan Rasul-nya dalam hal
ini adalah negara untuk dibelanjakan bagi kebutuhan umat.
Adapun
biaya pengeluaran lainnya menurut Ibnu Taimiyah (Hasan: 1992) meliputi:
a. Biaya
pejabat pemerintah seperti gubernur, menteri yang dibiayai oleh fai.
b. Mengaji
qadi, hakim sebagai petugas yang menjaga keadilan.
c. Fasilitas
pendidikan dan tenaga guru untuk menciptakan masyarakat yang baik dan terdidik.
d. Fasilitas
publik, infrastruktur, dan kebutuhan yang tidak dapat disediakan secara
individu harus disediakan oleh negara seperti jembatan, bendungan, dan
lain-lain yang harus dibiayai oleh fai.
Menurut
Sakti (2007), dalam islam semua jenis pendapatan dimasukan kedalam baitulmal,
lalu digunakan pada dua jenis penyaluran, anggaran untuk kesejahteraan dan
anggaran untuk umum. Anggaran untuk peningkatan kesejahteraan berasal dari
pendapatan zakat dan sedekah. Adapaun anggaran untuk kesejahteraan berasal dari
pendapatan lainnya, seperti pajak dan nonpajak. Didapatkan bahwa islam lebih
terfokus pada kesejahteraan masyarakatnya dari pada pertumbuhan ekonomi semata.
Dalam pengelolaan agama islam pemerintah sebaiknya mendahulukan kepentingan
syariah dari pada pertimbangan negara yang bersifat keduniaan. Berikut ini
tabel alokasi pengeluaran dari sumber penerimaan negara.
Alokasi
Pengeluaran dari Sumber Penerimaan Negara
Penerimaan
|
Pengeluaran
|
Jenis
regulasi
|
|
Zakat
|
Kebutuhan dasar
|
Kharaj
|
Kesejahteraan sosial
|
Jizyah
|
Pendidikan dam penelitian
|
Jenis
sukarela
|
|
Ushur
|
Infrastruktur (fasilitas publik)
|
Infak sedekah
|
Dakwah dan propaganda Islam
|
Wakaf
|
Administrasi Negara
|
Jenis
kondisional
|
|
Khums
|
|
Pajak
|
|
Keuntungan
BUMN
|
|
Lain-lain
|
|
1. Kebijakan Pengeluaran Zaman
Rasulullah
Tidak ada catatan
mengenai pengeluaran secara perinci, tetapi secara garis besar pengeluaran
negara pada zaman rasulullah sebagai berikut :
a. Pengeluaran
Primer
-
Biaya pertahanan, seperti persenjataan,
unta, kuda, dan persediaan.
-
Penyaluran zakat dan ushur kepada yang
berhak menerimanya sesuai ketentuan Al-Quran.
-
Pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru,
imam, muazin, dan pejabat negara lainnya.
-
Pembayaran upah para sukarelawan.
-
Pembayaran utang negara.
-
Bantuan untuk musafir (dari daerah
Fadak).
b. Pengeluaran sekunder
a) Bantuan
untuk orang yang belajar agama di Madinah.
b) Hiburan
untuk para delegasi keagamaan.
c) Hiburan
untuk para utusan suku dan negara serta biaya perjalanan mereka.
d) Hadiah
untuk pemerintahan negara lain.
e) Pembayaran
denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan muslim.
f) Pembayaran
utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
g) Pembayaran
tunjangan untuk orang miskin.
h) Tunjangan
untuk sanak saudara Rasulullah.
i)
Pengeluaran rumah tangga Rasulullah
(hanya jumlah kecil, yakni 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap
isterinya).
j)
Persediaan darurat (sebagian dari
pendapatan pada perang Khaibar).
2. Kebijakan
pengeluaran non-zakat masa Al-Khulafa Ar-Rasyidun
1)
Abu Bakar As-Siddiq (11-13 H/632-634 M)
Pada
masa kekhalifahan Abu Bakar, kebijakan pengelolaan anggaran yang dilakukan
yaitu dengan langsung membagi habis harta bait al-mal. Sistem pendistribusian
seperti ini melanjutkan sistem pendistribusian pada masa Rasulullah.
2)
Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)
Pada
masa kekhalifahan Umar bin Khattab, beliau mengambil kebijakan yang berbeda
dengan para pendahulunya dalam mengelola bait al-mal. Kebijakan yang diambil
adalah tidak menghabiskan seluruh pendapatan negara secara sekaligus, melainkan
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan, sebagian di antaranya digunakan untuk
dana cadangan.
Dalam
melaksanakan anggaran pengeluaran negara, Khalifah Umar bin Khattab menekankan
prinsip keutamaan dalam mendistribusikan kekayaan yang berhasil dikumpulkan
dalam bait al-mal. Dana pada bait al-mal adalah milik kaum muslimin, sehingga
menjadi tanggung jawab negara menjamin kesejahtraan rakyatnya.
3)
Usman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Ada
beberapa kebijakan pengeluaran kontroversial yang dilakukan Khalifah yang
menimbulkan kericuhan di kalangan umat Islam, yaitu:
a) Kebijakan
untuk memberikan kepada kerabatnya harta dari bait al-mal. Dalam hal ini Usman
mengatakan dalam pidatonya: “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak mengambil
hak mereka. Namun saya mengambil apa yang menjadi hak saya dan saya bagikan
kepada saudara-saudara dekatku.” Ini berbeda dengan apa yang dilakukan para
khalifah sebelumnya.
b) Menggunakan
dana zakat untuk pembiayaan perang atau pembiayaan lainnya. Kebijakan ini
dianggap kurang tepat oleh sahabat karena menyalahi aturan Allah dalam
distribusi zakat sebagaimana yang diperintahkan dala Al-Qur’an. Kebijakan ini
menimbulkan kesulitan bagi pemerintahannya sendiri karena jatah zakat yang
seharusnya diberikan kepada fakir miskin dialihkan untuk pembiayaan lain, maka
terjadi kesenjangan antara kaya dan miskin.
c) Kebijakan
Usman ra untuk memberikan tambahan gaji bagi para pejabat negara, beberapa di
antaranya memiliki hubungan dengan kekerabatan dengannya.
4)
Ali bin Abi Talib (35-40 H/656-661 M)
Khalifah
Ali bin Abi Talib hidup sangat sederhana dan sangat ketat dalam melaksanakan
keuangan negara. Ali tidak sepaham dengan Umar dalam masalah pendistribusian
harta bait al-mal. Keputusan Umar dalam pertemuan dengan Majelis Syura yang
menetapkan bahwa sebagian dari harta bait al-mal dijadikan cadangan, tidak
sejalan dengan pedapat Ali, sehingga pada saat Ali diangkat menjadi khalifah,
kebijakan yang dilakukan berubah. Ali mendistribusikan seluruh pendapatan bait
al-mal yang ada di Madinah, Kufah, dan Busra.
SEKILAS KEBIJAKAN PENGELUARAN
NONZAKAT KONTEMPORER
Di
masa Rasulullah SAW kebijakan anggaran sangat sederhana dan tidak serumit
sistem anggaran modern. Hal ini sebagian karena telah berubahnya keadaan
sosioekonomik secara fundamental, dan sebagian lagi karena negara Islam yang
didirikan dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW (1997: 234).
Anggaran
modern merupakan suatu campuran rumit antara rencana dan proyek yang harus
dilaksanakan di masa depan, maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang
terdapat pada jalan pertumbuhan ekonomi negara. Negara Islam modern harus
menerima konsep anggaran modern dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit
anggaran. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang mutlak
diperlukan dan mencari jalan dengan cara untuk mencapainya, baik dengan
rasionalisasi struktur pajak atau dengan mengambil kredit dari sistem perbankan
atau dari luar negeri (Mannan: 235).
Telah
kita lihat bahwa selama masa Islam dini, penerimaan zakat dan sedekah merupakan
sumber pokok pendapatan. Jelaslah, di zaman modern, penerimaan ini tidak dapat
memenuhi persyaratan anggaran yang berorientasikan pertumbuhan modern dalam suatu
negara Islam. Diperlukan untuk mengenakan pajak baru, terutama pada orang yang
lebih kaya demi kepentingan kemajuan dan keadilan sosial. As-Sunah dengan jelas
menyatakan tentang hal ini: “Selalu ada yang harus dibayar selain zakat.” Maka
Rasulullah SAW berpesan dan memerintahkan pengeluaran untuk kebajikan
masyarakat. Sabdanya: “Kekayaan harus diambil dari si kaya dan dikembalikan
kepada si miskin” (H.R Bukhari) (Mannan: 228).
Setiap
warga negara harus menyumbangkan keuangan negara sesuai dengan kemampuannya,
yaitu sesuai dengan pendapatan. Menurut prinsip ekonomi, biaya pungutan pajak
tidak boleh melebihi pendapatan dari pungutan pajak itu sendiri. Akan tetapi,
mengenai masalah zakat, pungutan zakat tidak memerlukan sistem organisasi yang
lengkap yang membutuhkan biaya yang besar. Zakat merupakan bentuk ibadah
seperti amalan shalat setiap hari atau berpuasa, sehingga kebanyakan orang
berlomba-lomba mau menunjukkan melaksanakan tanggung jawab ini secepat mungkin
(Rahman, 1996: 335).
Kitab
Al-Qur’an barangkali adalah satu-satunya yang memuat firman tentang kebijakan
negara mengenai pengeluaran pendapatan negara secara cermat. Penerimaan zakat
yang dipungut dari kaum Muslimin dapat juga digunakan untuk kesejahteraan
kalangan nonmuslim. Sesungguhnya, bila kita memerhatikan jiwa administrasi
keuangan Nabi SAW tidak ada suatu kesulitan pun dalam menyimpulkan bahwa hukum
Islam mengenai keuangan negara sangat elastis sehingga dapat diperluas untuk
memenuhi persyaratan zaman modern.
Daftar Isi
Nurul Huda, dkk.
Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah. Kencana. Jakarta: 2012.
Jurnal Keuangan Publik
Islam (Kebijakan Pengeluaran Instrumen Non-zakat Dalam Islam, Oleh: Dian
Hariyadi; Habiburrahman; Safrudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar